Minggu, 28 April 2013

mengenal tokoh


A. Biografi Slamet Sukirnanto
Slamet Sukirnanto dilahirkan di Solo, 3 Maret 1941. Beliau Mengenyam  pendidikan formal pertamanya di SD Muhammadiyah I Solo, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri III Solo. Setelah itu, melanjutkan ke SMA Negeri II dan dilanjutkan pada pendidikan terakhirnya Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (tidak tamat).
Slamet Sukirnanto adalah tokoh yang aktif dalam bidang organisasi. Hal ini dibuktikan dari berbagai jabatan yang pernah diembannya selama mengikuti organisasi. Beliau merupakan pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada tahun 1964, ketua presidium KAMI Pusat (mewakili DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, 1966-), anggota DPRGR/ MPRS (mewakili mahasiswa, 1967-1971), redaktur tamu ruang kebudayaan Sinar Harapan  (1972/ 1973), pendiri KNPI dan anggota DPP KNPI (1978-1981), anggota Badan Sensor Film (1978-1984),
ketua Majelis Kebudayaan pada Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1990), ketua Bidang Pengembangan Kebudayaan ICMI DPP Jakarta (1991), Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1993-1996). Kini bekerja pada Bakom PKB DKI Jakarta.
Kumpulan sajaknya: Jaket Kuning (1967), Kidung Putih (1967), Gema Otak Terbanting (1974), Bunga Batu (1979), Catatan Suasana (1982), dan Luka Bunga (1991).Bersama Ikranagara dan Wahyu Sihombing, ia menjadi editor buku Pertemuan Teater 1980 (ke, 1980). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993) Dalam buku itu, termuat sanjak-sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak, Jalanan, Kayu Tasbihku, Gergaji, Aku Tak Mau. Bersama Taufik Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri, ia menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21 (1996).
B.       Sastra dan Slamet Sukirnanto
Pada awalnya ia akrab dengan seni lukis. Tetapi ketika SMA, ia kemudian tertarik pada drama. “Ini karena Mas Willy (WS Rendra) waktu itu di Solo sedang giat-giatnya berteater. Di SMA tahun 1962, bersama Salim Said, saya mendirikan grup Teater Margoyudan. Saya juga bergaul dengan Mansyur Samin Cs yang tergabung dalam HPSS (Himpunan Peminat Sastra Surakarta). Pergaulan dengan para penyair itu kemudian membangkitkan saya untu menulis. Saya masih ingat, waktu bulan puasa, saya naik sepeda keliling kota untuk menunggu waktu buka”, kenangnya.
“Di dekat Balai Kota Surakarta, saya melihat kere mati yang hanya ditutupi sesobek kertas dan daun sejak itu saya sadar secara spiritual mengenai eksistensi manusia. Kere mati itu betul-betul mengguncangkan batin saya. Atas fakta itu saya menulis puisi berjudul Kere Mati”. Puisi ini ia publikasikan di majalah sekolah. Sejak saat itu ia mulai menulis puisi, mencari jawaban terhadap hidup. “Kemudian saya belajar banyak tentang puisi dan kehidupan. Apa sih hidup ini? Terlebih lagi kehidupan saya begitu dekat dengan penderitaan”. katanya. 
Ayah angkat Slamet adalah seorang tukang batu dan ibunya adalah tukang buruh cuci. “Tetapi orang tua angkat saya yang bersahaja itu belum pernah bilang kowe dadio wong sugih (jadilah kamu orang kaya) tetapi, kowe dadio priyayi (jadilah kamu priyayi). Priyayi bukan dalam arti punya banyak harta, tetapi berpendidikan atau kira-kira intelek. Mereka sangat memperhatikan kebutuhan rohani saya, jadi meski hidup kami penuh penderitaan, buku saya dua lemari. Secara spiritual sangat bahagia. Menurut saya proses kreatif adalah bagaimana seorang seniman mampu membaca dan menghayati kehidupan. Kemudian bisa menguasai teknik penyampaian secara baik sesuai media yang kita kuasai. Sebagai penyair, media saya puisi”, kenangnya.
Ia banyak belajar dari membaca karya Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan kemudian Sanusi Pane. Tetapi belajar teknik yang mendetail dari almarhum Hartoyo Andangjaya. Menurutnya, puisi adalah bingkai dan penyair harus mengisi bingkai itu secara penuh. “Saya sangat senang dengan alam dan selalu bergetar untuk menuliskannya. Maka, semua puisi yang pernah saya tulis dekat dengan alam. Karena kadang-kadang saya kehilangan kepercayaan pada manusia. Kalau saya menulis puisi mengenai alam, bukan berarti saya memotret alam, tetapi berdialog dengan alam. Alam disini menyangkut alam fisik maupun alam spiritual. Jadi, puisi perjalanan saya sebenarnya adalah puisi perjalanan spiritual. Sekarang ini banyak buku sastra terbit atau acara pembacaan puisi, tetapi tidak ada yang memperhatikan. Orang sudah mulai tidak peduli. Bahkan ada kecenderungan usaha mematikan. Unsur senang dan tidak senang pada pengarang sudah menggejala. Sekarang sudah tidak ada orang bijak seperti HB Jassin”, celotehnya.

C.      Ketidakpuasan Slamet Sukirnanto
Nama Slamet Sukirnanto menjadi terkenal sejak terjadinya pengadilan puisi di Bandung, atau tepatnya di Aula Universitas Parahyangan pada tanggal 8 September 1974. Saat itu beliau bertindak sebagai jaksa dan membaca tuntutannya yang berjudul “Saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas, dan brengsek!”. Pandangan Slamet berkisar tentang ketidakpuasan beliau terhadap perkembangan puisi Indonesia sekitar tahun 1970-an. Adapun tuntutan tersebut meliputi:
1.        Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H. B Jasin dan M. S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
2.        Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Joko Damono) dicutibesarkan   
3.        Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Gunawan dan sebagainya dan lain-lain dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hokum pembuangan, dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil
4.        Horison dan Budaja Djaja harus dicabut “SIT”nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum. Sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.  
Namun semua tuntutan tersebut ditolak oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Sanento Yuliman. Adapun keputusan Majelis Hakim yaitu,
1.        Para kritikus sastra tetap dizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra yang akan segera didirikan
2.        Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh megundurkan diri
3.        Para penyair mapan established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan dan Rumah Perawatan Epigon
4.        Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Terbitnya hanya dibelakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru” sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.      
D.      Puisi Slamet Sukirnanto
Berikut ini beberapa puisi yang telah dikarang oleh Slamet Sukirnanto yaitu Layang-layang Milikku, Catatan Harian Seorang Demonstran dan.
LAYANG-LAYANG MILIKKU
Layang-layang milikku, kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Di alam raya bersama burung-burung bebas
Lihatlah dari sana.  negeri-negeri yang jauh
Adakah negeri-negeri bebas yang angkuh?

Satu pesan yang kusampaikan dari bumi ini
Jangan lah meninggalkan  daku, kemudian kau pergi
Sebab jarak antara kita akan semakin jauh
Di kota ini aku sendiri dengan pijar nasib

Layang-layang milikku, kumanjakan kau
Membubung di langit biru
Sampaikan salam hidup teguh disini
Nyanyian bumi dalam ujud puisi
                                                                        (Jaket Kuning, 1966)
   
CATATAN HARIAN SEORANG DEMONSTRAN
Jaket kuning berlumur darah
Dengan sedih kutatap kawan-kawan rebah
Di bumi, di terik matahari kota Jakarta
O, kita tahu apa arti ini semua

Terteguh di tengah galau beribu massa
Apakah benar peluru itu untukku?
Yang sebuah itu mungkin untukku
Telah direbut demonstran di sampingku

Udara panas kota Jakarta
Kulihat ciliwung tetap coklat airnya
Alirnya lambat mengandung duka
Apakah ini: bayang-bayang nasib kita?

Jaket kuning berlumur darah
Nyanyian gugur bunga, dalam syahdu khidmat kita
Dalam catatan harian ini semua kulihat
Dalam catatan harian ini tertulis sendat
                                                                        (Jaket Kuning, 1966)
            Puisi kedua yang dikutip di atas menunjukkan peristiwa demonstrasi mahasiswa tahun 1966dalam menumbangkan rezim Orde Lama. Korban-korban berjatuhan. Korban tersebut berjaket kuning yang merupakan jaket para mahasiswa Universitas Indonesia. Nama Salemba dan Kali Ciliwung banyak disebut dalam puisi ini. Pada tahun 1966, Salemba adalah tempat berkumpulnya mahasiswa yang melakukan demonstrasi.        
            CIPANAS 1970
Angin sore mengulur tangan
Meraih lembah
Menyeret sepi, ketika cintamu
Tiada tumbuh lagi dalam pusaran!

Warna bunga-bunga
Langit dan
Lereng merimbun
Padam: kuserahkan setangkai
Kegelisahan menyusup
                        tangakai demi tangkai!
Ada bocah mengulur benang layang-layang
Ada lelaki mengulur tembang angan-angan
Ada layang-layang ada angan-angan
Mengatas lewat pucuk-pucuk bukit!
                                                                        (Cipanas, 1970)
GUNUNG MENADO TUA
Di kejauhan

Dibukit hitam
Temaram kabut senja
Meruncing-pucuknya ke Sorga!

Dibalik awan menebal angkasa
Menyimpan nyanyi akhir nelayan

“Pulang ke balik cakrawala
Berkemas segera
Tinggalkan pasir putih
Dan kelenggangan pantai
Ombak sekilat datang
Badai mengoyak landai”

Bukit hitam
Kakinya kukuh tertancap
Dasar lautan

“janji kekal bersetia”
                                                                        (Menado, 1970)

SUNGAI MUSI
Malam-malam:menyusuri Musi
Bulat bulan tenggelam dalam sekali
Yang kutangkap dari keruh kali
Wahai-mengendap!

Kau tahu, saudaraku? Derum stempel
Ujungnya menusuk ombak. Membelah kelam di muka
Jung-jung rakit berdesak sempoyong pergi
Berkayuh dengan gapai dayung jadi
Menyusup kabut yang enggan berganti!

Gemerlap lampu-lampu, penerang gubuk-gubukmu
Bermain dipermukaan arus! Dan hati tak mau tembus
Di sini pada mulanya tersendat berhenti!
Kala kota  masih bernapas sesekali
Spada! Seorang lelaki menjejak tepi!
                                                                        (Palembang, 1970) 

Daftar Pustaka 
Herman J. Waluyo. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press
Herman J Waluyo dkk. 2012. Perkembangan Puisi Indonesia Modern Periode 1960-2010. Surakarta: Cakrawala Media
Pamusuk Eneste. 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas
Yant Mujiyanto dan Amir Fuady. 2007. Sejarah Sastra Indonesia (Prosa dan Puisi). Surakarta: UNS Press          

1 komentar: