BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam karya sastra di Indonesia sejak masa
kelahirannya di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan angkatan Balai
Pustaka, para pengarang yang dominasi oleh laki-laki banyak menciptakan
karya-karya yang umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh
perempuan ini selalu mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan
ketidakberdayaan mereka terhadap aturan-aturan tradisi yang telah melekat erat
pada sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang
berujung pada kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yng mulai
menunjukkan emansipasi perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada
tahun 1930-an yaitu pada novel Layar terkembang yang mulai membangkitkan
semangat dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami
ketertindasan
.
.
Memasuki dekade 1970-an higga saat
ini, pengarang perempuan mulai menjelajahi ranah sastra. Kebanyakan dari mereka
mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan lahirnya novel-novel yang
menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makhluk
yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi
pribadi yang kuat, memilki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya
meskipun terdapat juga penggambaran perempuan yang bersifat lemah menghadapi
berbagai permasalahan. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun
1970-an yang mengusung novel-novel
populer tentu dipengaruhi oleh budaya populer yang berkembang pada waktu itu.
Di antara karya-karya pengarang perempuan yang sangat dikenal pada tahun
1970-an hingga saat ini (2000-an), seperti karmila yang diusung Marga T,
Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko karya Nh. Dini, kabut Sutra
Ungu yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti, Larung
karya Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaliqie dan
Nayla karya Djenar Maesa
Ayu.
Karya sastra merupakan gambaran
kehidupan hasil rekaan seseorang yang sering kali karya sastra itu menghadirkan
kehidupan yang diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang.
Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan
pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini
dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan
tentang manusia dan kemanusiaan.
Novel-novel tersebut memiliki
bermacam tema dan isi, antara lain tentang masalah-masalah sosial yang pada
umumnya terjadi dalam masyarakat, termasuk yang berhubungan dengan perempuan.
Sosok perempuan sangat menarik untuk dibicarakan. Perempuan di wilayah publik
cenderung dimanfaatkan kaum laki-laki untuk memuaskan koloninya. Wanita telah
menjelma menjadi bahan eksploitasi bisnis dan seks.
Munculnya sejumlah sastrawan perempuan tampaknya bukan suatu kebetulan,
tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan transformasi sosio
kultural Indonesia, yang antara lain merupakan hasil perjuangan para feminis
dan emansipatoris wanita. Di samping itu, ada fenomena menarik pada beberapa
karya para pengarang perempuan tersebut, antara lain dalam hal mengangkat atau
menggambarkan tema yang berhubungan dengan perempuan dan seks.
Novel yang dihadirkan tidak semata
hanya untuk menghibur tetapi juga menjadi pelajaran baru bagi pembaca. Namun
terkadang novel yang terlalu bebas dapat mempengaruhi pembaca hingga pembaca
merasa bahwa hal negatif yang ia lakukan adalah wajar.
Novel Biru karya Fira Basuki adalah novel yang terbit pada tahun 2004.
Novel ini banyak menggambarkan tokoh wanita dengan karakter yang berbeda. Tokoh-tokoh
tersebut akan menyumbangkan pemahaman terhadap analisis kajian feminisme dalam
novel Biru.Fira Basuki juga menggambarkan bentuk seksualitas wanita secara
langsung. Kalimat-kalimat yang vulgar dapat membuat pembaca menjadi berkhayal
ke arah yang negatif.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Biru karya Fira Basuki?
2. Bagaimana
pokok-pokok pikiran feminisme dalam dalam novel Biru karya Fira Basukii?
3. Bagaimana
sikap pengarang (Fira Basuki) terhadap tokoh wanita dalam novel Biru?
4. Bagaimana
nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Biru karya Fira Basuki?
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan itu dalah:
1. Tujuan Umum
Penelitian ini
secara umum bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspektif feminisme dalam
dunia sastra. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi
tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan bentuk-bentuk perlawanan
terhadap kekerasan akibat ketidakadilan gender.
2. Tujuan
Khusus
Penelitian
ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan:
a.
Gambaran tokoh perempuan yang terdapat dalam
novel Biru karya Fira Basuki.
b.
Pokok-pokok pikiran feminisme dalam dalam
novel Biru karya Fira Basuki.
c.
Sikap pengarang (Fira Basuki) terhadap tokoh
wanita dalam novel Biru.
d.
Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Biru
karya Fira Basuki.
D.Manfaat Penelitin
1.
Manfaat Teoritis
a.
Memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan,
khususnya dalam penelitian sastra.
b.
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu
contoh penerapan pendekatan feminisme dalam penelitian di bidang sastra.
c.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap keilmuan dalam mengapresiasi novel dan
memberikan semangat kepada penikmat sastra secara mendalam.
2. Manfaat
Praktis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi mahasiswa dan guru sastra Indonesia dalam pembelajaran apresiasi
sastra khususnya novel yang beraliran feminisme.
b.
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa
dan guru bahasa dan sastra Indonesia, serta peneliti sastra sebagai bahan
bacaan untuk menambah wawasan tentang kajian feminisme dalam novel Biru karya Fira Basuki
c.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
wahana pembelajaran apresiasi sastra, dalam hal ini siswa dapat menganalisis
karya sastra dengan pendekatan feminisme.
d.
Hasil penelitian ini dapat mengefektifkan
proses pembelajaran sastra dalam hal ini adalah novel Biru yang beraliran feminisme.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN HASIL ANALISIS
A. Kajian Teori
1. Hakikat
Feminisme
Secara etimologis feminis berasal
dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal), yang
berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas
sosial (Nyoman Kutha Ratna, 2004:184).
Feminisme adalah keseimbangan interelasi
gender, dalam pengertian yang lebih luas, feminisme adalah gerakan wanita yang
menolak segala sesuatu yang di merginalisasi, disubornasikan dan direndahkan
oleh kebudayaan dominan baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan
sosial pada umumnya(Herman J. Waluyo, 2011:100).
Feminisme muncul sebagai upaya
perlawanan dan pemberontakan atas berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki
terhadap kaum perempuan yang dilakukan selama berabad-abad lamanya. Gerakan
feminisme ini pada awalnya berasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa
perempuan bisa ditindasdan dieksploitasi dan dianggap makhluk kelas dua. Maka
feminisme diyakini merupakan langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut
(Fakih, 2004:99).
Asal pemikiran feminisme ini
sebenarnya berasal dari Perancis, yaitu ketika terjadi revolusi Perancis dan
masa pencerahan di Eropa barat. Berbagai perubahan sosial besar-besaran
tersebut turut pula memunculkan argumen-argumen politik maupun moral. Hal ini
berdampak pada pemusatan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional (Ollenburgger dan Helen,
2002:21). Mesikpun pemikiran feminisme ini bersumber dari negara menara Eiffel
tersebut, namun gerakannya sangat gencar dilakukan di Amerika. Feminisme
sebenarnya diakibatkan ketidakpuasan kaum perempuan terhadap sistem patriarki
yang dirasakan telah lama menindas hak-hak perempuan.
Pada tahun 1776 ketika Amerika
memproklamasikan kemerdekaannya, telah menyebut “all men are created equal”.
Padahal masyarakat dunia telah menjadikan Amerika sebagai barometer keadilan
dan kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu mendengung-dengungkan persamaan
derajat di antara manusia, namun sayangnyya hal tersebut tidak dialami oleh
kaum perempuan.
Deklarasi yang telah diprmosikan
tersebut mengakibatkan kekecewaan dan kemarahan dari kaum perempuan yang merasa
tidak dihargai Sikana, 2007:321). Untuk menandingi deklarasi kemerdekaan
Amerika sebelumnya, maka pada tahun 1848 kaum feminisme menyebut “all men
and women are created equal”. Kalimat tersebut dapat dikatakan versi lain
dari deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya yang dirasakan tidak adil oleh
kaum perempuan.
Ada beberapa aspek yang turut
mempengaruhi terjadinya gerakan feminisme, yaitu aspek politik, agama serta
aspek ideologi. (Djajanegara, 2000:4). Aspek politik, yakni ketika pemerintah
merasa tidak dianggap oleh pemerintah. Begitu pula tatkala
kepentingan-kepentingan kaum perempuan berkaitan dengan politik diabaikan. Dari
aspek agama disebutkan bahwa kaum feminis menuding pihak gereja bertanggung
jawab atas doktrin-doktrin yang menyebabkan posisi perempuan di abawah hegemoni
kaum laki-laki. Ajaran gereja juga berpendapat bahwa kaum perempuan mewarisi Original
Sin atau dikenal dengan Dosa Turunan yang menyebabkan manusia terusir dari
surga hingga terlempar ke bumi. Bahkan kaum Yahudi kuno secara lugas selalu
mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena tidak dilahirkan sebagai seorang
perempuan (Sikana, 2007:321).
Dari aspek ideologi, konsep
dikalangan sosialisme menunjukkan adanya stratifikasi jender yang juga menjadi
ciri khas masyarakat patriarkis. Perempuan mewakili kaum proletar atau kaum
tertindas, sedangkan laki-laki disamakan dengan kaum borjuis atau kelas
penindas. Selain itu dalam konsep sosialisme ini, prempuan dianggap tidak
memiliki nilai ekonomis karena pekerjaan merek hanya mengurus urusan domestik
rumah tangga.
Sugihastuti (2002:18) berpendapat bahwa
feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala
bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial, maupun kegiatan terorganisasi
yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme merupakan
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat,
baik di tempat kerja dan rumah tangga.
Menurut Redyanto Noor (2005:99)
memberikan pengertian feminisme adalah suatu gerakan yang memusatkan perhatian
pada perjuangan perempuan dalam menempatkan eksistensinya. Sejalan dengan
pendapat ini, Awuy (dalam Sugihastuti, 2002:62) menegaskan bahwa feminisme
bukan monopoli kaum perempuan dan sasarannya bukan hanya masalah gender,
melainkan masalah dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
Senada dengan kedua pendapat
tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa pada hakikatnya gerakan feminisme
dalah gerakan tranformasi dan bukanlah gerakan untuk membalas dendam kepada
kaum laki-laki. Dengan demikian gerakan tranformasi perempuan adalah suatu
proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia (laki-laki dan
perempuan) agar lebih baik dan baru. (Riant Nugroho, 2008:61)
Lebih lanjut (Retno Winarni (009:182)
menjelaskan bahwasanya yang dikaji dalam pendekatan feminisme yakni dalam
hubungannya dengan tokoh wanita adalah (a) peranan tokoh wanita dalam karya
sastra, (b) hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh lain, (c) sikap penulis
terhadap tokoh wanita.
Dari beberapa pendapat yang
dikemukakan tersebut di atas, secara umum feminisme diidentikkan dengan sebuah
gerakan kaum perempuan yang memperjuangkan persamaan hak antara kaum laki-laki
dan kaum perempuan dalam berbagai sisi kehidupan dan didalam karya sastra
pendekatan ini mencoba melihat hubungan tokoh wanita dalam karya, hubungannya
dengan tokoh lain dan sikap pengarang terhadap tokoh wanita di dalam karya yang
dihasilkannya.
2. Aliran Feminisme
Menurut Mansour Fakih (2007:80-106), ada
beberapa perspektif yang digunakan dalam menjawab permasalahan perempuan,
yaitu: feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, dan feminisme
sosialis. Keempat aliran feminisme tersebut dibahas secara ringkas sebagai
berikut:
a. Feminisme
Liberal
Feminisme liberal muncul sebagai
aliran kritik terhadap pendeskriminasian kaum perempuan dalam hal persamaan
kebebasan individu dan nilai-nilai moral. Mounsur Fakih (2007:81) menjelaskan
asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom)
dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminisme liberal dalam memperjuangkan
persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan
dan hak yang sama antara laki-laki perempuan ini penting bagi mereka karenanya
tidak perlu pembedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan.
Heropoetri & Valentina 2004:36)
menjelaskan cara pemecahan untuk menyamakan hak kaum perempuan dan laki-laki
adaah menambah kesempatan bagi wanita terutama melalui institusi-institusi
pendidikan dan ekonomi. Asumsinya, apabila wanita diberi akses yang sama untuk
bersaing, mereka akan berhasil. Jalan keluar yang ditawarkan oleh feminisme
aliran ini adalah perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing
di dunia dalam kerangka ‘persaingan bebas’ dan mempunyai kedudukan setara
dengan laki-laki.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa feminis liberal menegaskan bahwa ketertindasan perempuan
terjadi karena adanya pembatasan kebebasan individu. Oleh karena itu, tuntutan
feminisme liberal adalah perempuan harus diberi kesempatan dalam
institusi-institusi pendidikan dan ekonomi agar sejajar dengan laki-laki.
b. Feminisme
Marxis
Soenarji Djajanegara (2000:30)
menjelaskan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena adanya pembedaan
kelas dalam masyarakat. Kaum perempuan disamakan dengan kelas buruh yang hanya
memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modal uang atau alat-alat produksi.
Kaum perempuan ditindas dan diperas tenaganya oleh kaum laki-laki yang
disamakan dengan pemilik modal dan alat-alat produksi.
Berkaitan dengan analisis produksi
yang bersandar pada ideologi Marxis, Jegger (dalam Tong, 1998:182) menyatakan
bahwa Marx menganggap bekerja sebagai memanusiakan manusia. Bekerja dimaksudkan
untuk menghubungkan manusia dengan produk tubuh dan pikirannya, alamnya, dan
manusia lain. Dengan kata lain, feminisme Marxis ingin menghilangkan
kelas-kelas dalam masyarakat. Jalan keluar yang ditawarkan oleh feminis Marxis
adalah perempuan harus masuk dalam sektor publik yang dapat menghasilkan nilai
ekonomi (uang), sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan tidak ada lagi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa penindasan kaum perempuan terjadi akibat adanya pembagian
kelas dalam masyarakat yakni perempuan dianggap kaum proletar sedangkan
laki-laki dianggap sebagai kaum borjuis. Adapun jalan keluar enurut aliran in
adalah dengan cara menghilangkan pembagian kelas dalam masyarakat.
3. Feminisme
Sosialis
Soenarji Djajanegara (2000:30)
menjelaskan feminisme aliran sosialis meneliiti tokoh-tokoh perempuan dari
sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis ini
mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang
tertindas.
Menurut Samhuri (2002:45) feminisme
sosial menawarkan bahwa perjuangan perempuan hanya akan berhasil jika sistem
pemilikan prbadi berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya transformasi sosial
masyarakat yang menghancurkan kelas-kelas dan penguasaan aat-alat produksi
segelintir orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa feminisme sosialis memandang ketertindasan perempuan terjadi
akibat adanya manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konruksi sosial
dalam masyarakat. Aliran ini merupakan gerakan untuk membebaskan kaum perempuan
melalui perubahan struktur patriakat untuk kesetaraan gender.
4. Feminisme
Radikal
Riant Nugroho (2008:67) menjelaskan
bahwa ada dua sistem kelas dalam feminisme radikal, yaitu sistem kelas ekonomi
yang didasarkan pada hubungan produksi dan sistem kelas seks yang didasarkan
pada hubungan reproduksi. Sistem kedualah yang menyebabkan penindasan terhadap
perempuan sedangkan konsep patriarki merujuk pada sistem kelas kedua ini, pada
kekuasaan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang didasarkan pada pemilikan
dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan.
Dijelaskan Moore (1996:27) dalam feminisme radikal digambarkan bahwa
perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis yang merupakan
penindasan yang paling mendasar. Penindasan
berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme dan
kelasisme yang terjadi secara signifikan dalam hubungan dengan penindasan
pariarkis. Jalan keluar yang ditawarkan aliran ini adalah perlu mengubah
masyarakat yang berstruktur patriarkis tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa feminisme radikal memandang penguasaan kaum laki-laki
terhadap perempuan dari sudut seksualitas merupakan bentuk penindasan
perempuan.
Berdasarkan penjelasan tentang beberapa
konsep-konsep feminisme tersebut di atas, maka konsep feminisme radikal
dijadikan sebagai titik pijak dalam menganalisis eksistensi perempuan dalam
novel Biru. Ada beberapa hal yang menguatkan anggapan bahwa novel ini
menganut paham feminis radikal yaitu penekanan pada tokoh-tokoh perempuan yang
terlalu mudah dibujuk rayu oleh lelaki. Perempuan digambarkan sebagai sosok
yang lugu dan melakukan segalanya tanpa pikir panjang. Seksualitas digambarkan
sebagai bagian yang penting dalam kehidupan perempuan.
3. Eksistensi
Perempuan
Eksistensi perempuan pada hakikatya
sama dengan eksistensi manusia secara umum. Eksistensi manusia dibentuk oleh
kapasitas nalar yang dimilikinya. Potensi nalar tersebut sekaligus juga sebagai
pembeda antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Seperti yang dijelaskan
Hasan (1992:30) bahwa eksistensi bagi manusia adalah tugas yang disertai
tanggung jawab sehingga eksistensi itu sebagai suatu yang etis dan religius.
Wollstonecraft dalam (Tong, 2006:22),
menyatakan bahwa perempuan bukan sekedar alat atau instrumen untuk kebahagiaan
dan kesempurnaan hidup orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah tujuan suatu
gen bernalar yang harga dirinya ada dalam kemampuan untuk menentukan nasib
dirinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa eksistensi perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini
terwujud dalam pilihan-pilihan perempuan dalam menentukan kehidupannya dan
perlawanannya terhadap ketidakadilan gender.
B. HASIL ANALISIS
1. Eksistensi
Perempuan Dalam Novel
a. Keluguan
perempuan dalam menghadapi bujuk rayu laki-laki
Dalam novel Biru ada enam tokoh perempuan yang
menjadi bagian cerita yaitu Anna, Candy, Kira, Lindih, Mita, dan Gloria. Keenam
perempuan tersebut menjadi sasaran obyek seks laki-laki. Anna adalah sosok
ibu rumah tangga yang tidak puas dengan kedudukan yang ia terima sebagai istri
rumahan. Candy gadis belia yang harus menghadapi kegetiran hidup sejak muda
karena di menjadi yatim piatu dalam usia muda. Ia pun harus menjual rumah
Omanya untuk modal menjadi model di Singapura. Kira merupakan gambaran gadis
cantik yang harus menerima nasib menjadi istri simpanan. Dalam segala hal, Kira
merupakan sosok sempurna yang memiliki segalanya namun tidak bisa memiliki
cinta sepenuhnya. Lindih adalah gadis
yang bertubuh montok. Saat ia masih sekolah, ia menjadi objek seks Aris. Ia
akhirnya menikah dengan pria pilihan ibunya dan harus berpisah karena kurang
memberi perhatian pada suami. Sosok Lindih adalah sosok yang belawanan dengan
sosok Kira sebagai gadis cantik yang bertubuh ramping. Mita merupakan anak
pertama dari Anna. Mita gadis belia yang menduduki bangku kuliah. Ia juga
direngut keperawanannya oleh Aris dan dicampakkan dengan perselingkuhan Aris
yang juga menggauli teman-teman Mita. Gloria diusir dari
rumah karena hamil. Gloria diperkosa oleh empat pria dalam perjalanan menuju
rumah. Ia melahirkan Aris. Gloria bukan hanya obyek seksual tetapi juga
gambaran perempuan yang hak bicaranya tidak tersampaikan.
Tokoh pertama adalah Anna, nama
lengkapnya Rohanna. Rohanna menikah dengan Rahman seorang lelaki yang telah
lulus kuliah dan ingin berumah tangga. Tokoh Anna hampir terbujuk rayu oleh
Aris.
”Duh…Pria itu. Mengapa ia begitu?
Mengenakan kaos ketat dengan kerah v yang pendek, menunjukkan bulu-bulu
keriting di dada. Tangannya yang berbulu, bibirnya yang tebal, tadi…duh!
Kupandang Aris dalam-dalam. Mukanya
memelas seperti seekor anjing yang menjulurkan lidah ke tuannya untuk menanti
makan. Dari atas dan bawah, pria itu…terus terang, membuat dadaku berdebar
kencang. Lihatlah Dia! Begitu gagah,
kekar dan menawan. Hm…harum pula, pasti sudah mandi dan berparfum.duh… jadi
malu, bangun tidur, belum mandi, bau…dan ya ampun napasku pasti tak sedap… aku baru
bangun tidur.
Anna! Anna! Kamu gila ya? Kamu gila
ya Anna? Aris? Kamu bicara soal Aris yang playboy itu? aku mengutuk diri.
Sementara Aris kembali mendekat
Bibir tebalnya kembali menempel. Aku tidak, ngg…belum beraksi. Ingin rasanya
melumat bibir itu, kalau saja mataku tiba-tiba melirik ke arah dompetku yang
terbuka di atas meja. Ada foto Bang Rahman, Mita dan Cindy…foto kleuargaku! (
Fira Basuki, 2004: 33)
Candy juga orang yang terkena ketertindasan
kaum laki-laki. Ia harus kehilangan keperawanannya oleh lelaki homoseksual.
Menginap beberapa hari di Novotel
Hotel, Robin mengajakku pindah sementara ke rumahnya, di daerah Holand Village.
“Aku sendiri, di rumahku banyak kamar kosong” Aku mau saja wong sepertinya dia gay alias homoseksual.
Seminggu di Singapura, aku belum
bekerja tapi latihan setiap hari. Diajari bagaimana caranya berjalan, di catwalk, bagaimana tersenyum dan
berpose, hingga tata krama dan etika ber-sosialisasi. Di rumahnya robin sering
membabntuku. Jalan luwes, tangannya melambai-lambai bak seorang perempuan. Sesudah sesi pelatihan, kami
sering menonton tv bersama, tertawa-tawa sambil makan pop-corn, terkadang malah
tertidur di kursi.
Tapi suatu malam bibir Robin
menyentuh bibirku. Aku kira ia bermimpi, aku mengguncang tubuhnya keras-keras.
Bangun Robin, bangun,” ujarku setengah berteriak. Walaupun kedua matanya
terpejam, sebenarnya Robin sadar penuh. Tubuhnya yang besar itu menindihku di
sofa. Tiba-tiba ia menjadi sangat laki-laki. Dengan kasar ia melepas kaosnya.
Kemudian tanpa izinku ia melumat bibirku hingga hidungnya menggenjet rata
hidungku. Aku tidak bisa bernapas dan tidak bisa berontak. Tadi aku masih di
alam mimpi, kini apakah masih di sana?
Kira menyerahkan keperawananya pada
Setiawan, suami Lindih. Meskipun pada akhirnya Mas An lebih memilihnya dari pada
Lindih, tetapi pada awalnya ia hanya menjadi wanita kedua, istri selingan.
Penderitaannya sebagi obyek seks tergambar ketika ia harus meminum pil KB agar
tidak hamil dulu karena keinginan Mas An.
Huhuhuhu…hik. Lagi. Darah yang
mengucur lagi dari rahimku. Bersamaan dengan semacam tissue, gumpalan daging. Setiap kali begitu. Haruskah aku menangis
lagi? Dokter mungkin menyebutkan Spontaneous
abortion atau natural abortion, yaitu
aborsi normal di mana janin keluar dengan sendirinya, umumnya sebelum usia
kandungan memnginjak 3 minggu. Bisa saja, normal, katanya sebagian besar
perempuan mengalaminya. Bahkan kemungkinan terjadi tanpa disadari, karena
keluar begitu saja bersama darah menstruasi setiap bulannya. Seringkali janin
yang tumbuh di kandungan itu tidak berkualitas dan tidak akan bisa berkembang
secara baik, jadi tubuh perempuan itu sendiri yang mendesak sibayi untuk
menggugurkan kandungan. Buku panduan kesehatan perempuan yang kubaca
menyebutkan ini, juga dianjurkan supaya perempuan tidak buru-buru menyalahkan
diri sendiri jika terjadi keguguran. (Fira Basuki, 2004:55)
Lindih adalah tokoh perempuan yang
paling menderita dalam cerita ini. Karena ia gendut, suaminya selingkuh,
keperawanannya terenggut oleh Aris saat SMA. Karena kegendutannya Lindih
menjadi tidak percaya diri, sehingga percaya pada Aris yang mengajaknya
bersetubuh. Dan juga meminum berbagai obat pelangsing yang menyebabkan ia
terkena hyperthyroidism yang mengganggu liver dan ginjalnya, sehingga ia tidak
dapat melakukan tummy tuck (operasi mengencangkan perut)
Ah mata itu. seperti terhipnotis, Lindih
mngiyakan bahkan ketika Aris memintanya membayar biaya kamar hotel, ia pun
mengangguk rela. Siapa yang tidak? Sang pangeran di depan mata. Kalau sudah
begini Lindih merasa dirinya yang tadi katak, menjadi seorang putri, gara-gara
dicium pangeran. Hilang sudah kutukan itu menjelmalah ia menjadi wujud yang
diimpikannya, cantik dan menawan di matasang pangeran.
Dibiarkannya sang pangeran merajai
tubuhnya, dipejamkannya matanya. Ah ini bukan mimpi
Mita anak pertama dari Anna ini termakan
bujuk rayu Aris, akibatnya ia bersama-sama kawannya terenggut
keperawanannya oleh Aris. Mita mengalami gangguan psikis dan hendak bunuh diri
dengan kejadian tersebut.
Maafkan Mita,
Ma. Mita sudah lupa diri di Pleusure Island, menyangka semua yang enak adalah
milik Mita Bahwa hidup ini indah, penuh permainan dan hadiah. Bahwa Mita adalah
segalanya baginya. Cuma Mita yang bisa membuat kelaki-lakiannya muncul.
Ternyata tidak,
Ma. Tidak! Teman MIta, Desi juga, Normala juga Becky, dan mungkin banyak lagi.
Ini gara-gara Desi justru bangga dan mengaku pada kita-kita. Mita langsung
seperti roboh. Langsung rasanya sakit luar dalam. Tapi mengapa Desi bang, Ma?
Ketika perempuan-perempuan lain itu berubah menjadi keledai, berjalan, bersuara
dan belagak aneh…mengapa Mita yang seperti Pinokio, baru bertelinga da berekor
keledai, tapi belum berubah wujud, ketakutan? Mita mencoba berlari dari pulau
miliknya.( Fira Basuki, 2004:144-145)
Gloria
merupakan ibu kandung Aris. Pada usia belia ia harus mengeorbankan masa
depannya kakrena diperkosa oleh empat lelaki yang tak ia kenal.
Baju seragamnya dicabik-cabik
hingga punggung Gloria merasakan dinginnya lantai, entah lantai ruamah siapa.
Dengan pandangan gelap, tangan dan kaki diikat, Gloria Cuma bisa merasa.
Tubuhnya dijilati dan diggigit sana-sini beramai-ramai seakan-akan ia adalah ayam panggang. Dua buah dada kebanggaannya tak
lupa dibagi untuk empat orang. Maaf,
empat binatang. Yang kemudian tidak mau melewatkan melahap bagian terenak yang
suka dilarang-larang, yaitu symbol kewanitaan yang mungkin mereka anggap bak
berutu ayam. Tak kuasa membayangkan keempat binatang melahapnya hingga habis.
Gloria tak sadarkan diri. Tenang rasanya, lelap terpulas melihat warna-warni di
alam bawah sadar. (Fira Basuki,
2004:288)
b. Kedudukan
Perempuan
Pada novel ini digambarkan Anna sebagai orang
yang tidak puas dengan posisinya sebagai istri rumahan. Ia pun sangat iri
dengan teman-temannya yang aktif dalam bekerja. Hal ini terungkap dalam kutipan
berikut:
Aduh, apa yang
teman-temanku pikirkan nanti ya? Aku seorang ibu rumah tangga. Mungkin
teman-temanku sudah pada sukses semua. Yang aku tahu si Kira juga punya rumah
bertingkat seperti milikku Cuma bedanya
dia tinggal di daerah Darmo, Surabaya, kawasan elite mirip tempat tinggal kami
di pondok Indah, Jakarta.Entahlah apa yang dikerjakannya. Mungkin suaminya yang
kaya seperti suamiku?
Tapi apakah ia
menjadi Anna yang ibu rumah tangga seperti statusku sekarang? Kira kan
cantikdan pintar, pasti dia bekerja…jika
tidak toh, ah…dia cantik…masih cantikkah dia? (Fira Basuki,2004:19)
Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa wanita
ingin bebas dari statusnya sebagai wanita yang hanya bekerja di sumu, kasur dan
dapur. Namun tokoh ini tidak mampu melawan karena secara tidak langsung ia juga
menikmati hidupnya sebagai nyonya besar.
2.
Pokok-pokok
pikiran feminisme dalam Novel Biru karya Fira Basuki
a.
Feminisme Radikal
Pemikiran
feminis radikal dimunculkan melalui tokoh wanita yang diperankan dalam novel
ini. Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi menyebabkan
penindasan kepada pihak perempuan sebagai golongan kelas kedua. Kekuasaan kaum
laki-laki terhadap kaum perempuan yang didasrkan pada pemilikan dan control
kaum laki-laki dan kapasitas reproduksi perempuan.
Setiap
tokoh adalah tokoh yang rela dengan kkepasrahannya terhadap tindakan pria.
Tokoh-tokoh digambarkan sebagi figur wanita yang bodoh. Selain itu, pada novel
ini juga menunjukkan bahwa yang tercantik dan rampinglah yang menang. Hal ini
terlihat ketika tokoh Iwan Setiawan akhirnya takluk pada wanita lain yang
tubuhnya jauh lebih baik di banding tubuh istrinya yang padat.
Lindih lalu berdiri dan memutuskan untuk
keluar kamar. Tapi tatpannya menangkap gaun biru yang digantung. Didekatinya
gaun biru tadi dan di pegangnya. Aduh halusnya, bahannya pasti sutra mahal.
Pasti jika dipakai rasanya kan menempel di tubuh dan melambai-lambai jika ia
berjalan. Duh, indahnya pasti semua orang akan memuji gaun itu di reuni nanti
jika ia mengenakannya. Tapi lamunan Lindih sejenak bubar ketika diingatnya Kira
yang langsing, si pemilikgaun itu yang sebenarnya.. Hatinya panas, diambilnya
gaun tadi dari gantungan dengan paksa sehingga tersobek. Dari sobekan itu Lindih
mencabik-cabiknya hingga gaun tadi berubah jadi robekan-robekan seperti kain
perca berserakan. (Fira Basuki, 2004:265)
Dari kutipan tersebut, jelaslah terlihat gambaran
pengarang bahwa wanita yang kurus lebih menarik di banding wanita gemuk.
Dalam kutipan lain pemikiran feminisme radikal
muncul sangat jelas. Sistem patriarki yang menempatkan perempuan menerima
begitu saja perlakuan laki-laki dalam segala hal termasuk hubungan seksual.
Baju seragamnya dicabik-cabik
hingga punggung Gloria merasakan dinginnya lantai, entah lantai ruamah siapa.
Dengan pandangan gelap, tangan dan kaki diikat, Gloria Cuma bisa merasa.
Tubuhnya dijilati dan diggigit sana-sini beramai-ramai seakan-akan ia adalah
ayam panggang. Dua buah dada kebanggaannya
tak lupa dibagi untuk empat orang. Maaf,
empat binatang. Yang kemudian tidak mau melewatkan melahap bagian terenak yang
suka dilarang-larang, yaitu symbol kewanitaan yang mungkin mereka anggap bak
berutu ayam. Tak kuasa membayangkan keempat binatang melahapnya hingga habis.
Gloria tak sadarkan diri. Tenang rasanya, lelap terpulas melihat warna-warni di
alam bawah sadar. (Fira Basuki,
2004:288)
3. Sikap
Pengarang Terhadap Tokoh Perempuan Dalam Novel Biru
Newton dalam Retno Winarni (2009:183)
menyebutkan bahwa Showalter mengemukakan tiga tahap tradisi wanita. Tahap
pertama penulis yang menganggap rendah prestasi yang berpusat pada pria. Tahap
kedua, memprotes tentang situasi wanita. Tahap ketiga, kelompok penulis yang
bertujuan menciptakan fiksi yang berpusat pada wanita yang jelas.
Dari
penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwasanya sikap pengarang (Fira
Basuki) terhadap tokoh-tokoh perempuan adalah berusaha memprotes tentang
situasi perempuan. Perempuan sebagai objek seksual dianggap suatu tindakan
merusak moral tokah yang akhirnya tokoh Lindih bercerai karena suaminya
menyadari ia tidak perawan ketika malam pertama, tokoh Mita yang bunuh mencoba
bunuh diri karena frustasi, dan tokoh Gloria yang diasingkan dari keluarganya
karena hamil akibat di perkosa.
Di akhir
cerita, Fira Basuki memaparkan kisah haru biru karena sebagian besar tokohnya
mendapat musibah. Kira satu-satunya tokoh yang berakhir bahagia dengan suaminya
yang sah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah terhadap novel Biru
karya Fira Basuki yang ditinjau dari pendekatan feminisme adalah sebagai
berikut:
1. Eksistensi
perempuan yang terdapat dalam novel Biru karya Fira Basuki adalah gambaran wanita polos dengan kerelaannya
menerima nasib sebagai wanita yang ternoda tanpa ada sikap perlwanan terhadap
kaum laki-laki yang telah merusak hidupnya.
2. Pokok-pokok
pikiran feminisme dalam dalam novel Biru karya Fira Basuki adalah pokok
pikiran aliran feminisme radikal. Hubungan perempuan dan seks menjadi cerita
yang mendasar dalam novel ini.
3. Sikap pengarang (Fira Basuki) terhadap tokoh-tokoh
perempuan adalah berusaha memprotes kaum pria yang menjadikan perempuan sebagai
objek seks semata. Pengarang juga memaparkan ketidakberdayaan kaum perempuan
sebagai penyebab perempuan akhirnya mendapat perlakuan pemaksaan dalam hubungan
seksual.
B. Saran
Pendekatan feminisme ini merupakan salah
satu pendekatan dari berbagai pendekatan yang ada dalam mengkaji karya sastra,
baik novel, cerpen maupun puisi. Novel ini sangat perlu untuk dikaji secara
intensif dengan pendekatan-pendekatan lain dan dikaji lebih intensif. Namun
perlu diperhatikan juga, bahwa novel ini hanya layak dibaca orang dewasa
DAFTAR PUSTAKA
Burhan
Nurgiyantoro. 2007. Pengkajian Fiksi. Yogyakarya: Gajah Mada University
Press.
Dedy
Sugono.2003. Buku Praktis BahasaIndonesia I. Jakarta: Pusat Bahasa.
Herman
J. Waluyo. 1992. Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Herman
J. Waluyo dan Nugraheni Eko Waedhani. 2006. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta:
Widya Sari.
Mansur
Fakih. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nyoman
Kutha Ratna. 2004. Teori. Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moelong,
Lexy Y. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karva
Fira
Basuki. 2004. Biru. Jakarta: Gramedia
Ollenburger,
Jane C dan Helen A. Moore. 2002. Sosiologi Wanita. Diterjemahkan oleh
Budi Sucahyono dan Yun sumaryana. Jakarta: Rineka Cipta.
Retno
Winarni. 2009. Kajian Sastra. Surakarta:Widya Sari.
Riant
Nugroho. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia.
Ygyakarta: Pustaka Pelajar.
Samhuri,
2004:www.pdsorganiser.topcities.com. Diunduh tanggal 19 Desember 2011
Sikana,
Mana. 2007. Teras Susastra Melayu Tradisional. Selangor: Pustaka Karya.
Suedarsono,
R.M. Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tatakrama, dan Seni
Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Sugihastuti.
2002. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Jaya.
Suyitno.1986.
Sastra. Tata Nilai dan Aksesoris Baru Indonesia. Yogyakarta: Hanindita.
Soenarjati
Djajanegara. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Tong,
Rosemarie. 2006. Feminist thought. Yogyakarta: Jalasutra.
Wellek,
Rene dan Austin Werren. 1989. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh
Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar