Senin, 12 November 2012

analisis novel Biru,fira basuki


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dalam karya sastra di Indonesia sejak masa kelahirannya di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan angkatan Balai Pustaka, para pengarang yang dominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-karya yang umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan mereka terhadap aturan-aturan tradisi yang telah melekat erat pada sebagian besar masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yng mulai menunjukkan emansipasi perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an yaitu pada novel Layar terkembang yang mulai membangkitkan semangat dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan
.
            Memasuki dekade 1970-an higga saat ini, pengarang perempuan mulai menjelajahi ranah sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat, memilki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya meskipun terdapat juga penggambaran perempuan yang bersifat lemah menghadapi berbagai permasalahan. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an  yang mengusung novel-novel populer tentu dipengaruhi oleh budaya populer yang berkembang pada waktu itu. Di antara karya-karya pengarang perempuan yang sangat dikenal pada tahun 1970-an hingga saat ini (2000-an), seperti karmila yang diusung Marga T, Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko karya Nh. Dini, kabut Sutra Ungu yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti, Larung karya Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaliqie dan Nayla  karya Djenar Maesa Ayu.
Karya sastra merupakan gambaran kehidupan hasil rekaan seseorang yang sering kali karya sastra itu menghadirkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang. Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. 
Novel-novel tersebut memiliki bermacam tema dan isi, antara lain tentang masalah-masalah sosial yang pada umumnya terjadi dalam masyarakat, termasuk yang berhubungan dengan perempuan. Sosok perempuan sangat menarik untuk dibicarakan. Perempuan di wilayah publik cenderung dimanfaatkan kaum laki-laki untuk memuaskan koloninya. Wanita telah menjelma menjadi bahan eksploitasi bisnis dan seks. 
    Munculnya sejumlah sastrawan perempuan tampaknya bukan suatu kebetulan, tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan transformasi sosio kultural Indonesia, yang antara lain merupakan hasil perjuangan para feminis dan emansipatoris wanita. Di samping itu, ada fenomena menarik pada beberapa karya para pengarang perempuan tersebut, antara lain dalam hal mengangkat atau menggambarkan tema yang berhubungan dengan perempuan dan seks.
            Novel yang dihadirkan tidak semata hanya untuk menghibur tetapi juga menjadi pelajaran baru bagi pembaca. Namun terkadang novel yang terlalu bebas dapat mempengaruhi pembaca hingga pembaca merasa bahwa hal negatif yang ia lakukan adalah wajar.
            Novel Biru karya Fira Basuki adalah novel yang terbit pada tahun 2004. Novel ini banyak menggambarkan tokoh wanita dengan karakter yang berbeda. Tokoh-tokoh tersebut akan menyumbangkan pemahaman terhadap analisis kajian feminisme dalam novel Biru.Fira Basuki juga menggambarkan bentuk seksualitas wanita secara langsung. Kalimat-kalimat yang vulgar dapat membuat pembaca menjadi berkhayal ke arah yang negatif.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Biru karya Fira Basuki?
2. Bagaimana pokok-pokok pikiran feminisme dalam dalam novel Biru  karya Fira Basukii?
3. Bagaimana sikap pengarang (Fira Basuki) terhadap tokoh wanita dalam novel Biru?
4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Biru  karya Fira Basuki?

C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan itu dalah:


1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspektif feminisme dalam dunia sastra. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan bentuk-bentuk perlawanan terhadap kekerasan akibat ketidakadilan gender.
2. Tujuan Khusus
     Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan:
a.         Gambaran tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Biru karya Fira Basuki.
b.        Pokok-pokok pikiran feminisme dalam dalam novel Biru  karya Fira Basuki.
c.         Sikap pengarang (Fira Basuki) terhadap tokoh wanita dalam novel Biru.
d.        Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Biru  karya Fira Basuki.

D.Manfaat Penelitin
1.    Manfaat Teoritis
a.       Memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam penelitian sastra.
b.      Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu contoh penerapan pendekatan feminisme dalam penelitian di bidang sastra.
c.       Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap keilmuan dalam mengapresiasi novel dan memberikan semangat kepada penikmat sastra secara mendalam.
2. Manfaat Praktis
a.         Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan guru sastra Indonesia dalam pembelajaran apresiasi sastra khususnya novel yang beraliran feminisme.
b.        Hasil penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa dan guru bahasa dan sastra Indonesia, serta peneliti sastra sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan tentang kajian feminisme dalam novel Biru  karya Fira Basuki
c.         Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran apresiasi sastra, dalam hal ini siswa dapat menganalisis karya sastra dengan pendekatan feminisme.
d.        Hasil penelitian ini dapat mengefektifkan proses pembelajaran sastra dalam hal ini adalah novel Biru  yang beraliran feminisme.  




BAB II
KAJIAN TEORI DAN HASIL ANALISIS
A. Kajian Teori
1. Hakikat Feminisme
            Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal), yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Nyoman Kutha Ratna, 2004:184).
Feminisme adalah keseimbangan interelasi gender, dalam pengertian yang lebih luas, feminisme adalah gerakan wanita yang menolak segala sesuatu yang di merginalisasi, disubornasikan dan direndahkan oleh kebudayaan dominan baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial pada umumnya(Herman J. Waluyo, 2011:100).  
            Feminisme muncul sebagai upaya perlawanan dan pemberontakan atas berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang dilakukan selama berabad-abad lamanya. Gerakan feminisme ini pada awalnya berasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindasdan dieksploitasi dan dianggap makhluk kelas dua. Maka feminisme diyakini merupakan langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut (Fakih, 2004:99).
            Asal pemikiran feminisme ini sebenarnya berasal dari Perancis, yaitu ketika terjadi revolusi Perancis dan masa pencerahan di Eropa barat. Berbagai perubahan sosial besar-besaran tersebut turut pula memunculkan argumen-argumen politik maupun moral. Hal ini berdampak pada pemusatan ikatan-ikatan dan norma-norma  tradisional (Ollenburgger dan Helen, 2002:21). Mesikpun pemikiran feminisme ini bersumber dari negara menara Eiffel tersebut, namun gerakannya sangat gencar dilakukan di Amerika. Feminisme sebenarnya diakibatkan ketidakpuasan kaum perempuan terhadap sistem patriarki yang dirasakan telah lama menindas hak-hak perempuan.
            Pada tahun 1776 ketika Amerika memproklamasikan kemerdekaannya, telah menyebut “all men are created equal”. Padahal masyarakat dunia telah menjadikan Amerika sebagai barometer keadilan dan kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu mendengung-dengungkan persamaan derajat di antara manusia, namun sayangnyya hal tersebut tidak dialami oleh kaum perempuan.
            Deklarasi yang telah diprmosikan tersebut mengakibatkan kekecewaan dan kemarahan dari kaum perempuan yang merasa tidak dihargai Sikana, 2007:321). Untuk menandingi deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya, maka pada tahun 1848 kaum feminisme menyebut “all men and women are created equal”. Kalimat tersebut dapat dikatakan versi lain dari deklarasi kemerdekaan Amerika sebelumnya yang dirasakan tidak adil oleh kaum perempuan.
            Ada beberapa aspek yang turut mempengaruhi terjadinya gerakan feminisme, yaitu aspek politik, agama serta aspek ideologi. (Djajanegara, 2000:4). Aspek politik, yakni ketika pemerintah merasa tidak dianggap oleh pemerintah. Begitu pula tatkala kepentingan-kepentingan kaum perempuan berkaitan dengan politik diabaikan. Dari aspek agama disebutkan bahwa kaum feminis menuding pihak gereja bertanggung jawab atas doktrin-doktrin yang menyebabkan posisi perempuan di abawah hegemoni kaum laki-laki. Ajaran gereja juga berpendapat bahwa kaum perempuan mewarisi Original Sin atau dikenal dengan Dosa Turunan yang menyebabkan manusia terusir dari surga hingga terlempar ke bumi. Bahkan kaum Yahudi kuno secara lugas selalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena tidak dilahirkan sebagai seorang perempuan (Sikana, 2007:321).
            Dari aspek ideologi, konsep dikalangan sosialisme menunjukkan adanya stratifikasi jender yang juga menjadi ciri khas masyarakat patriarkis. Perempuan mewakili kaum proletar atau kaum tertindas, sedangkan laki-laki disamakan dengan kaum borjuis atau kelas penindas. Selain itu dalam konsep sosialisme ini, prempuan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis karena pekerjaan merek hanya mengurus urusan domestik rumah tangga.
Sugihastuti (2002:18) berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial, maupun kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.
            Menurut Redyanto Noor (2005:99) memberikan pengertian feminisme adalah suatu gerakan yang memusatkan perhatian pada perjuangan perempuan dalam menempatkan eksistensinya. Sejalan dengan pendapat ini, Awuy (dalam Sugihastuti, 2002:62) menegaskan bahwa feminisme bukan monopoli kaum perempuan dan sasarannya bukan hanya masalah gender, melainkan masalah dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
            Senada dengan kedua pendapat tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa pada hakikatnya gerakan feminisme dalah gerakan tranformasi dan bukanlah gerakan untuk membalas dendam kepada kaum laki-laki. Dengan demikian gerakan tranformasi perempuan adalah suatu proses gerakan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia (laki-laki dan perempuan) agar lebih baik dan baru. (Riant Nugroho, 2008:61)
            Lebih lanjut (Retno Winarni (009:182) menjelaskan bahwasanya yang dikaji dalam pendekatan feminisme yakni dalam hubungannya dengan tokoh wanita adalah (a) peranan tokoh wanita dalam karya sastra, (b) hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh lain, (c) sikap penulis terhadap tokoh wanita.
            Dari beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut di atas, secara umum feminisme diidentikkan dengan sebuah gerakan kaum perempuan yang memperjuangkan persamaan hak antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam berbagai sisi kehidupan dan didalam karya sastra pendekatan ini mencoba melihat hubungan tokoh wanita dalam karya, hubungannya dengan tokoh lain dan sikap pengarang terhadap tokoh wanita di dalam karya yang dihasilkannya.
2. Aliran Feminisme
Menurut Mansour Fakih (2007:80-106), ada beberapa perspektif yang digunakan dalam menjawab permasalahan perempuan, yaitu: feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Keempat aliran feminisme tersebut dibahas secara ringkas sebagai berikut:
a. Feminisme Liberal
            Feminisme liberal muncul sebagai aliran kritik terhadap pendeskriminasian kaum perempuan dalam hal persamaan kebebasan individu dan nilai-nilai moral. Mounsur Fakih (2007:81) menjelaskan asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan dan hak kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki perempuan ini penting bagi mereka karenanya tidak perlu pembedaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan.
            Heropoetri & Valentina 2004:36) menjelaskan cara pemecahan untuk menyamakan hak kaum perempuan dan laki-laki adaah menambah kesempatan bagi wanita terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi. Asumsinya, apabila wanita diberi akses yang sama untuk bersaing, mereka akan berhasil. Jalan keluar yang ditawarkan oleh feminisme aliran ini adalah perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka ‘persaingan bebas’ dan mempunyai kedudukan setara dengan laki-laki.
            Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa feminis liberal menegaskan bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena adanya pembatasan kebebasan individu. Oleh karena itu, tuntutan feminisme liberal adalah perempuan harus diberi kesempatan dalam institusi-institusi pendidikan dan ekonomi agar sejajar dengan laki-laki.
b. Feminisme Marxis
            Soenarji Djajanegara (2000:30) menjelaskan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena adanya pembedaan kelas dalam masyarakat. Kaum perempuan disamakan dengan kelas buruh yang hanya memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modal uang atau alat-alat produksi. Kaum perempuan ditindas dan diperas tenaganya oleh kaum laki-laki yang disamakan dengan pemilik modal dan alat-alat produksi.
            Berkaitan dengan analisis produksi yang bersandar pada ideologi Marxis, Jegger (dalam Tong, 1998:182) menyatakan bahwa Marx menganggap bekerja sebagai memanusiakan manusia. Bekerja dimaksudkan untuk menghubungkan manusia dengan produk tubuh dan pikirannya, alamnya, dan manusia lain. Dengan kata lain, feminisme Marxis ingin menghilangkan kelas-kelas dalam masyarakat. Jalan keluar yang ditawarkan oleh feminis Marxis adalah perempuan harus masuk dalam sektor publik yang dapat menghasilkan nilai ekonomi (uang), sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan tidak ada lagi.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penindasan kaum perempuan terjadi akibat adanya pembagian kelas dalam masyarakat yakni perempuan dianggap kaum proletar sedangkan laki-laki dianggap sebagai kaum borjuis. Adapun jalan keluar enurut aliran in adalah dengan cara menghilangkan pembagian kelas dalam masyarakat.
3. Feminisme Sosialis
            Soenarji Djajanegara (2000:30) menjelaskan feminisme aliran sosialis meneliiti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis ini mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
            Menurut Samhuri (2002:45) feminisme sosial menawarkan bahwa perjuangan perempuan hanya akan berhasil jika sistem pemilikan prbadi berhasil dihancurkan dan lalu berhasilnya transformasi sosial masyarakat yang menghancurkan kelas-kelas dan penguasaan aat-alat produksi segelintir orang untuk diserahkan dan dikelola secara sosial.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme sosialis memandang ketertindasan perempuan terjadi akibat adanya manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konruksi sosial dalam masyarakat. Aliran ini merupakan gerakan untuk membebaskan kaum perempuan melalui perubahan struktur patriakat untuk kesetaraan gender.

4. Feminisme Radikal
            Riant Nugroho (2008:67) menjelaskan bahwa ada dua sistem kelas dalam feminisme radikal, yaitu sistem kelas ekonomi yang didasarkan pada hubungan produksi dan sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kedualah yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan sedangkan konsep patriarki merujuk pada sistem kelas kedua ini, pada kekuasaan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan.
            Dijelaskan Moore (1996:27)  dalam feminisme radikal digambarkan bahwa perempuan ditindas oleh sistem-sistem sosial patriarkis yang merupakan penindasan yang paling mendasar. Penindasan  berganda seperti rasisme, eksploitasi jasmaniah, heteroseksisme dan kelasisme yang terjadi secara signifikan dalam hubungan dengan penindasan pariarkis. Jalan keluar yang ditawarkan aliran ini adalah perlu mengubah masyarakat yang berstruktur patriarkis tersebut.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme radikal memandang penguasaan kaum laki-laki terhadap perempuan dari sudut seksualitas merupakan bentuk penindasan perempuan.
Berdasarkan penjelasan tentang beberapa konsep-konsep feminisme tersebut di atas, maka konsep feminisme radikal dijadikan sebagai titik pijak dalam menganalisis eksistensi perempuan dalam novel Biru. Ada beberapa hal yang menguatkan anggapan bahwa novel ini menganut paham feminis radikal yaitu penekanan pada tokoh-tokoh perempuan yang terlalu mudah dibujuk rayu oleh lelaki. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lugu dan melakukan segalanya tanpa pikir panjang. Seksualitas digambarkan sebagai bagian yang penting dalam kehidupan perempuan.

3. Eksistensi Perempuan
            Eksistensi perempuan pada hakikatya sama dengan eksistensi manusia secara umum. Eksistensi manusia dibentuk oleh kapasitas nalar yang dimilikinya. Potensi nalar tersebut sekaligus juga sebagai pembeda antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Seperti yang dijelaskan Hasan (1992:30) bahwa eksistensi bagi manusia adalah tugas yang disertai tanggung jawab sehingga eksistensi itu sebagai suatu yang etis dan religius.
Wollstonecraft dalam (Tong, 2006:22), menyatakan bahwa perempuan bukan sekedar alat atau instrumen untuk kebahagiaan dan kesempurnaan hidup orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah tujuan suatu gen bernalar yang harga dirinya ada dalam kemampuan untuk menentukan nasib dirinya.                      
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini terwujud dalam pilihan-pilihan perempuan dalam menentukan kehidupannya dan perlawanannya terhadap ketidakadilan gender.

B. HASIL ANALISIS
1. Eksistensi Perempuan Dalam Novel
a. Keluguan perempuan dalam menghadapi bujuk rayu laki-laki
            Dalam novel Biru ada enam tokoh perempuan yang menjadi bagian cerita yaitu Anna, Candy, Kira, Lindih, Mita, dan Gloria. Keenam perempuan tersebut menjadi sasaran obyek seks laki-laki. Anna adalah sosok ibu rumah tangga yang tidak puas dengan kedudukan yang ia terima sebagai istri rumahan. Candy gadis belia yang harus menghadapi kegetiran hidup sejak muda karena di menjadi yatim piatu dalam usia muda. Ia pun harus menjual rumah Omanya untuk modal menjadi model di Singapura. Kira merupakan gambaran gadis cantik yang harus menerima nasib menjadi istri simpanan. Dalam segala hal, Kira merupakan sosok sempurna yang memiliki segalanya namun tidak bisa memiliki cinta sepenuhnya.  Lindih adalah gadis yang bertubuh montok. Saat ia masih sekolah, ia menjadi objek seks Aris. Ia akhirnya menikah dengan pria pilihan ibunya dan harus berpisah karena kurang memberi perhatian pada suami. Sosok Lindih adalah sosok yang belawanan dengan sosok Kira sebagai gadis cantik yang bertubuh ramping. Mita merupakan anak pertama dari Anna. Mita gadis belia yang menduduki bangku kuliah. Ia juga direngut keperawanannya oleh Aris dan dicampakkan dengan perselingkuhan Aris yang juga menggauli teman-teman Mita. Gloria diusir dari rumah karena hamil. Gloria diperkosa oleh empat pria dalam perjalanan menuju rumah. Ia melahirkan Aris. Gloria bukan hanya obyek seksual tetapi juga gambaran perempuan yang hak bicaranya tidak tersampaikan.
            Tokoh pertama adalah Anna, nama lengkapnya Rohanna. Rohanna menikah dengan Rahman seorang lelaki yang telah lulus kuliah dan ingin berumah tangga. Tokoh Anna hampir terbujuk rayu oleh Aris. 
”Duh…Pria itu. Mengapa ia begitu? Mengenakan kaos ketat dengan kerah v yang pendek, menunjukkan bulu-bulu keriting di dada. Tangannya yang berbulu, bibirnya yang tebal, tadi…duh!
Kupandang Aris dalam-dalam. Mukanya memelas seperti seekor anjing yang menjulurkan lidah ke tuannya untuk menanti makan. Dari atas dan bawah, pria itu…terus terang, membuat dadaku berdebar kencang. Lihatlah  Dia! Begitu gagah, kekar dan menawan. Hm…harum pula, pasti sudah mandi dan berparfum.duh… jadi malu, bangun tidur, belum mandi, bau…dan ya ampun napasku pasti tak sedap… aku baru bangun tidur.
Anna! Anna! Kamu gila ya? Kamu gila ya Anna? Aris? Kamu bicara soal Aris yang playboy itu? aku mengutuk diri.
Sementara Aris kembali mendekat Bibir tebalnya kembali menempel. Aku tidak, ngg…belum beraksi. Ingin rasanya melumat bibir itu, kalau saja mataku tiba-tiba melirik ke arah dompetku yang terbuka di atas meja. Ada foto Bang Rahman, Mita dan Cindy…foto kleuargaku! ( Fira Basuki, 2004: 33)

Candy juga orang yang terkena ketertindasan kaum laki-laki. Ia harus kehilangan keperawanannya oleh lelaki homoseksual.
Menginap beberapa hari di Novotel Hotel, Robin mengajakku pindah sementara ke rumahnya, di daerah Holand Village. “Aku sendiri, di rumahku banyak kamar kosong” Aku mau saja wong sepertinya dia gay alias homoseksual.
Seminggu di Singapura, aku belum bekerja tapi latihan setiap hari. Diajari bagaimana caranya berjalan, di catwalk, bagaimana tersenyum dan berpose, hingga tata krama dan etika ber-sosialisasi. Di rumahnya robin sering membabntuku. Jalan luwes, tangannya melambai-lambai bak seorang  perempuan. Sesudah sesi pelatihan, kami sering menonton tv bersama, tertawa-tawa sambil makan pop-corn, terkadang malah tertidur di kursi.
Tapi suatu malam bibir Robin menyentuh bibirku. Aku kira ia bermimpi, aku mengguncang tubuhnya keras-keras. Bangun Robin, bangun,” ujarku setengah berteriak. Walaupun kedua matanya terpejam, sebenarnya Robin sadar penuh. Tubuhnya yang besar itu menindihku di sofa. Tiba-tiba ia menjadi sangat laki-laki. Dengan kasar ia melepas kaosnya. Kemudian tanpa izinku ia melumat bibirku hingga hidungnya menggenjet rata hidungku. Aku tidak bisa bernapas dan tidak bisa berontak. Tadi aku masih di alam mimpi, kini apakah masih di sana?           
Kira menyerahkan keperawananya pada Setiawan, suami Lindih. Meskipun pada akhirnya Mas An lebih memilihnya dari pada Lindih, tetapi pada awalnya ia hanya menjadi wanita kedua, istri selingan. Penderitaannya sebagi obyek seks tergambar ketika ia harus meminum pil KB agar tidak hamil dulu karena keinginan Mas An.
Huhuhuhu…hik. Lagi. Darah yang mengucur lagi dari rahimku. Bersamaan dengan semacam tissue, gumpalan daging. Setiap kali begitu. Haruskah aku menangis lagi? Dokter mungkin menyebutkan Spontaneous abortion atau natural abortion, yaitu aborsi normal di mana janin keluar dengan sendirinya, umumnya sebelum usia kandungan memnginjak 3 minggu. Bisa saja, normal, katanya sebagian besar perempuan mengalaminya. Bahkan kemungkinan terjadi tanpa disadari, karena keluar begitu saja bersama darah menstruasi setiap bulannya. Seringkali janin yang tumbuh di kandungan itu tidak berkualitas dan tidak akan bisa berkembang secara baik, jadi tubuh perempuan itu sendiri yang mendesak sibayi untuk menggugurkan kandungan. Buku panduan kesehatan perempuan yang kubaca menyebutkan ini, juga dianjurkan supaya perempuan tidak buru-buru menyalahkan diri sendiri jika terjadi keguguran. (Fira Basuki, 2004:55)
Lindih adalah tokoh perempuan yang paling menderita dalam cerita ini. Karena ia gendut, suaminya selingkuh, keperawanannya terenggut oleh Aris saat SMA. Karena kegendutannya Lindih menjadi tidak percaya diri, sehingga percaya pada Aris yang mengajaknya bersetubuh. Dan juga meminum berbagai obat pelangsing yang menyebabkan ia terkena hyperthyroidism yang mengganggu liver dan ginjalnya, sehingga ia tidak dapat melakukan tummy tuck (operasi mengencangkan perut)
Ah mata itu. seperti terhipnotis, Lindih mngiyakan bahkan ketika Aris memintanya membayar biaya kamar hotel, ia pun mengangguk rela. Siapa yang tidak? Sang pangeran di depan mata. Kalau sudah begini Lindih merasa dirinya yang tadi katak, menjadi seorang putri, gara-gara dicium pangeran. Hilang sudah kutukan itu menjelmalah ia menjadi wujud yang diimpikannya, cantik dan menawan di matasang pangeran.
Dibiarkannya sang pangeran merajai tubuhnya, dipejamkannya matanya. Ah ini bukan mimpi

Mita anak pertama dari Anna ini termakan bujuk rayu Aris, akibatnya ia  bersama-sama kawannya terenggut keperawanannya oleh Aris. Mita mengalami gangguan psikis dan hendak bunuh diri dengan kejadian tersebut.
Maafkan Mita, Ma. Mita sudah lupa diri di Pleusure Island, menyangka semua yang enak adalah milik Mita Bahwa hidup ini indah, penuh permainan dan hadiah. Bahwa Mita adalah segalanya baginya. Cuma Mita yang bisa membuat kelaki-lakiannya muncul.
Ternyata tidak, Ma. Tidak! Teman MIta, Desi juga, Normala juga Becky, dan mungkin banyak lagi. Ini gara-gara Desi justru bangga dan mengaku pada kita-kita. Mita langsung seperti roboh. Langsung rasanya sakit luar dalam. Tapi mengapa Desi bang, Ma? Ketika perempuan-perempuan lain itu berubah menjadi keledai, berjalan, bersuara dan belagak aneh…mengapa Mita yang seperti Pinokio, baru bertelinga da berekor keledai, tapi belum berubah wujud, ketakutan? Mita mencoba berlari dari pulau miliknya.( Fira Basuki, 2004:144-145)        
 Gloria merupakan ibu kandung Aris. Pada usia belia ia harus mengeorbankan masa depannya kakrena diperkosa oleh empat lelaki yang tak ia kenal.
Baju seragamnya dicabik-cabik hingga punggung Gloria merasakan dinginnya lantai, entah lantai ruamah siapa. Dengan pandangan gelap, tangan dan kaki diikat, Gloria Cuma bisa merasa. Tubuhnya dijilati dan diggigit sana-sini beramai-ramai seakan-akan ia adalah ayam  panggang. Dua buah dada kebanggaannya tak lupa dibagi untuk empat orang. Maaf, empat binatang. Yang kemudian tidak mau melewatkan melahap bagian terenak yang suka dilarang-larang, yaitu symbol kewanitaan yang mungkin mereka anggap bak berutu ayam. Tak kuasa membayangkan keempat binatang melahapnya hingga habis. Gloria tak sadarkan diri. Tenang rasanya, lelap terpulas melihat warna-warni di alam bawah sadar.  (Fira Basuki, 2004:288)

b. Kedudukan Perempuan
Pada novel ini digambarkan Anna sebagai orang yang tidak puas dengan posisinya sebagai istri rumahan. Ia pun sangat iri dengan teman-temannya yang aktif dalam bekerja. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut:
Aduh, apa yang teman-temanku pikirkan nanti ya? Aku seorang ibu rumah tangga. Mungkin teman-temanku sudah pada sukses semua. Yang aku tahu si Kira juga punya rumah bertingkat  seperti milikku Cuma bedanya dia tinggal di daerah Darmo, Surabaya, kawasan elite mirip tempat tinggal kami di pondok Indah, Jakarta.Entahlah apa yang dikerjakannya. Mungkin suaminya yang kaya seperti suamiku?
Tapi apakah ia menjadi Anna yang ibu rumah tangga seperti statusku sekarang? Kira kan cantikdan pintar, pasti  dia bekerja…jika tidak toh, ah…dia cantik…masih cantikkah dia? (Fira Basuki,2004:19)
Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa wanita ingin bebas dari statusnya sebagai wanita yang hanya bekerja di sumu, kasur dan dapur. Namun tokoh ini tidak mampu melawan karena secara tidak langsung ia juga menikmati hidupnya sebagai nyonya besar.
2.   Pokok-pokok pikiran feminisme dalam Novel Biru karya Fira Basuki

a.   Feminisme Radikal
Pemikiran feminis radikal dimunculkan melalui tokoh wanita yang diperankan dalam novel ini. Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi menyebabkan penindasan kepada pihak perempuan sebagai golongan kelas kedua. Kekuasaan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang didasrkan pada pemilikan dan control kaum laki-laki dan kapasitas reproduksi perempuan.
Setiap tokoh adalah tokoh yang rela dengan kkepasrahannya terhadap tindakan pria. Tokoh-tokoh digambarkan sebagi figur wanita yang bodoh. Selain itu, pada novel ini juga menunjukkan bahwa yang tercantik dan rampinglah yang menang. Hal ini terlihat ketika tokoh Iwan Setiawan akhirnya takluk pada wanita lain yang tubuhnya jauh lebih baik di banding tubuh istrinya yang padat.
Lindih lalu berdiri dan memutuskan untuk keluar kamar. Tapi tatpannya menangkap gaun biru yang digantung. Didekatinya gaun biru tadi dan di pegangnya. Aduh halusnya, bahannya pasti sutra mahal. Pasti jika dipakai rasanya kan menempel di tubuh dan melambai-lambai jika ia berjalan. Duh, indahnya pasti semua orang akan memuji gaun itu di reuni nanti jika ia mengenakannya. Tapi lamunan Lindih sejenak bubar ketika diingatnya Kira yang langsing, si pemilikgaun itu yang sebenarnya.. Hatinya panas, diambilnya gaun tadi dari gantungan dengan paksa sehingga tersobek. Dari sobekan itu Lindih mencabik-cabiknya hingga gaun tadi berubah jadi robekan-robekan seperti kain perca berserakan. (Fira Basuki, 2004:265)
Dari kutipan tersebut, jelaslah terlihat gambaran pengarang bahwa wanita yang kurus lebih menarik di banding wanita gemuk.
Dalam kutipan lain pemikiran feminisme radikal muncul sangat jelas. Sistem patriarki yang menempatkan perempuan menerima begitu saja perlakuan laki-laki dalam segala hal termasuk hubungan seksual.
Baju seragamnya dicabik-cabik hingga punggung Gloria merasakan dinginnya lantai, entah lantai ruamah siapa. Dengan pandangan gelap, tangan dan kaki diikat, Gloria Cuma bisa merasa. Tubuhnya dijilati dan diggigit sana-sini beramai-ramai seakan-akan ia adalah ayam  panggang. Dua buah dada kebanggaannya tak lupa dibagi untuk empat orang. Maaf, empat binatang. Yang kemudian tidak mau melewatkan melahap bagian terenak yang suka dilarang-larang, yaitu symbol kewanitaan yang mungkin mereka anggap bak berutu ayam. Tak kuasa membayangkan keempat binatang melahapnya hingga habis. Gloria tak sadarkan diri. Tenang rasanya, lelap terpulas melihat warna-warni di alam bawah sadar.  (Fira Basuki, 2004:288)
3. Sikap Pengarang Terhadap Tokoh Perempuan Dalam Novel Biru
            Newton dalam Retno Winarni (2009:183) menyebutkan bahwa Showalter mengemukakan tiga tahap tradisi wanita. Tahap pertama penulis yang menganggap rendah prestasi yang berpusat pada pria. Tahap kedua, memprotes tentang situasi wanita. Tahap ketiga, kelompok penulis yang bertujuan menciptakan fiksi yang berpusat pada wanita yang jelas.
            Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwasanya sikap pengarang (Fira Basuki) terhadap tokoh-tokoh perempuan adalah berusaha memprotes tentang situasi perempuan. Perempuan sebagai objek seksual dianggap suatu tindakan merusak moral tokah yang akhirnya tokoh Lindih bercerai karena suaminya menyadari ia tidak perawan ketika malam pertama, tokoh Mita yang bunuh mencoba bunuh diri karena frustasi, dan tokoh Gloria yang diasingkan dari keluarganya karena hamil akibat di perkosa.
Di akhir cerita, Fira Basuki memaparkan kisah haru biru karena sebagian besar tokohnya mendapat musibah. Kira satu-satunya tokoh yang berakhir bahagia dengan suaminya yang sah.













BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah terhadap novel Biru karya Fira Basuki yang ditinjau dari pendekatan feminisme adalah sebagai berikut:
1. Eksistensi perempuan yang terdapat dalam novel Biru karya Fira Basuki adalah gambaran wanita polos dengan kerelaannya menerima nasib sebagai wanita yang ternoda tanpa ada sikap perlwanan terhadap kaum laki-laki yang telah merusak hidupnya.
2. Pokok-pokok pikiran feminisme dalam dalam novel Biru karya Fira Basuki adalah pokok pikiran aliran feminisme radikal. Hubungan perempuan dan seks menjadi cerita yang mendasar dalam novel ini.
3. Sikap pengarang (Fira Basuki) terhadap tokoh-tokoh perempuan adalah berusaha memprotes kaum pria yang menjadikan perempuan sebagai objek seks semata. Pengarang juga memaparkan ketidakberdayaan kaum perempuan sebagai penyebab perempuan akhirnya mendapat perlakuan pemaksaan dalam hubungan seksual.
B. Saran
            Pendekatan feminisme ini merupakan salah satu pendekatan dari berbagai pendekatan yang ada dalam mengkaji karya sastra, baik novel, cerpen maupun puisi. Novel ini sangat perlu untuk dikaji secara intensif dengan pendekatan-pendekatan lain dan dikaji lebih intensif. Namun perlu diperhatikan juga, bahwa novel ini hanya layak dibaca orang dewasa





DAFTAR PUSTAKA

Burhan Nurgiyantoro. 2007. Pengkajian Fiksi. Yogyakarya: Gajah Mada University Press.

Dedy Sugono.2003. Buku Praktis BahasaIndonesia I. Jakarta: Pusat Bahasa.

Herman J. Waluyo. 1992. Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Waedhani. 2006. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Widya Sari.

Mansur Fakih. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nyoman Kutha Ratna. 2004. Teori. Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Moelong, Lexy Y. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karva

Fira Basuki. 2004. Biru. Jakarta: Gramedia

Ollenburger, Jane C dan Helen A. Moore. 2002. Sosiologi Wanita. Diterjemahkan oleh Budi Sucahyono dan Yun sumaryana. Jakarta: Rineka Cipta.

Retno Winarni. 2009. Kajian Sastra. Surakarta:Widya Sari.

Riant Nugroho. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia. Ygyakarta: Pustaka Pelajar.

Samhuri, 2004:www.pdsorganiser.topcities.com. Diunduh tanggal 19 Desember 2011

Sikana, Mana. 2007. Teras Susastra Melayu Tradisional. Selangor: Pustaka Karya.

Suedarsono, R.M. Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Sugihastuti. 2002. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Jaya.

Suyitno.1986. Sastra. Tata Nilai dan Aksesoris Baru Indonesia. Yogyakarta: Hanindita.

Soenarjati Djajanegara. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tong, Rosemarie. 2006. Feminist thought. Yogyakarta: Jalasutra.

Wellek, Rene dan Austin Werren. 1989. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar